Ketika belajar di pondok
pesantren salaf, salah satu mata pelajaran yang diajarkan, yakni tarekh. Tak
hanya di pondok pesantren, ilmu tarekh atau tarikh juga menjadi salah satu mata
pelajaran wajib di lembaga pendidikan Islam.
Tarikh secara bahasa berarti ketentuan waktu. Secara pengertian tarikh adalah
ilmu yang menggali peristiwa-peristiwa masa lampau agar tidak dilupakan. Ilmu
tarikh sepadan dengan pengertian ilmu sejarah pada umumnya.
Awalnya,
tarikh bermakna penetapan bulan kemudian meluas menjadi kalender dalam
pengertian umum. Dalam perkembangan selanjutnya, tarikh bermakna pencatatan
peristiwa. Semakin maju, ilmu tarikh menjadi lebih luas dan beragam sesuai
dengan perkembangan teknologi pencatatan itu sendiri.
Beberapa
pembagian ilmu tarikh, di antaranya peristiwa sejarah secara umum, seperti
Tarikh at-Tabari, Tarikh Ibn Asr, kemudian biografi seperti Mu’jam Ibnu
Khallikan, pembukuan peristiwa tahun demi tahun (hauliyyat), pembukuan
berita-berita secara kronologis (khabar), dan silsilah.
Kedudukan ilmu
tarikh pada awalnya bukan menjadi perhatian utama para
ulama. Baru antara tahun 170-194 H, saat ulama dan pemikir Islam mengenal
klasifikasi ilmu, ilmu tarikh mulai dimasukkan sebagai salah satu cabang ilmu.
Meskipun saat itu ilmu tarikh tidak berdiri sendiri namun masih menjadi bagian
dari ilmu lain.
Para
ulama juga tidak sama memandang klasifikasi ilmu tarikh. Misalny, Ibnu Nadim
dalam al-Fihrist menempatkan ilmu tarikh di antara bab-bab mengenai bahasa Arab
dan sastra. Al-Khawarizmi menempatkan ilmu tarikh sebagai bagian dari enam
pengetahuan ilmu agama, yakni fikih, akidah, bahasa Arab, menulis, sastra, dan
khabar.
Dalam
kitab Rasail Ikhwani as-Safa ilmu biografi dan tarikh dipandang sebagai ilmu dasar
sederajat dengan menulis, membaca, bahasa Arab, dan puisi. Ilmu yang lebih
tinggi dari itu merupakan ilmu agama. Ibnu Hazm dalam Maratib al-Ulim wa
Kaifiyyah Talabuha bahkan memasukkan tarikh ke kurikulum persiapan dari ilmu
fisika, matematika, dan linguistik.
Ilmu
tarikh yang terus berkembang tidak lepas dari beberapa dorongan. Alquran banyak
menyajikan kisah-kisah yang bertujuan dijadikan teladan bagi manusia. Selain
itu, ada perintah untuk memperhatikan tarikh sebagai pelajaran. Seperti, dalam
surah ar-Ruum ayat 9. “Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka
bumi dan memperhatikan bagaimana akibat oleh orang-orang sebelum mereka...”
Kemudian,
adanya kebutuhan untuk menghimpun hadis karena ajaran Islam yang terkandung di
dalam Alquran mengenai ibdah dan muamalat masih bersifat umum. Penulisan hadis
merupakan perintis jalan menuju perkembangan ilmu tarikh. Setelah muncul ilmu
hadis, muncul juga metode kritik hadis untuk menyeleksi hadis yang benar dan
salah.
Metode
kritik ini juga menjadi metode kritik tarikh paling awal. Kemudian, adanya
kitab-kitab as-Sirah (biografi Nabi Muhammad SAW) oleh para ulama hadis agar
keteladanan Nabi bisa diikuti oleh umat Islam. Sejak itu, penulisan tarikh
semakin berkembang.
Pada
masa sebelum Islam dan awal kebangkitan Islam, para sahabat belum menulis
tarikh. Semua peristiwa sejarah dan hadis disimpan dalam ingatan dan disebutkan
berulang karena mereka menganggap kemampuan mengingat lebih terhormat.
Hadis
Nabi, biografi, dan keadaan tertentu untuk tujuan agama baru ditulis pada akhir
abad ke-1 H dan awal abad ke-2 H setelah wilayah kekuasaan Islam meluas. Masa
itu disebut sebagai awal penulisan tarikh Islam. Perkembangan ilmu tarikh
mencapai puncaknya pada abad ke 9 dan 10 pada Dinasti Abbasiyah.
Pada
awal abad ke-3 H, penulisan tarikh di dunia Islam berkembang pesat didorong
oleh penggunaan kertas yang diprodukasi di Baghdad pada 795 M. Pada masa itu
sejarawan Muslim mulai menulis tarikh umum. Memasuki abad ke-4 perhatian
sejarah lebih diarahkan pada tarikh politik daripada agama. Tarikh politik
menjadi alat propaganda dan objektivitasnya mulai berkurang karena kebanyakan
ditulis dari kalangan istana.